Langsung ke konten utama

Proud Of Pandhalungan Culture


Tahun lalu untuk pertama kalinya Aku menyaksikan secara langsung kirab budaya dalam rangka HUT Kabupaten Pasuruan yang ke 1082. Acara ini cukup menarik, karena jarang-jarang di Pasuruan ada  kirab budaya semacam ini. Tapi ada satu hal yang membuatku jadi bertanya-tanya sendiri, yaitu kenapa orang-orang yang berada dalam kirab budaya tersebut ada yang memakai pakaian adat Jawa ada juga yang memakai pakaian adat Madura ? Hhmm… kesannya agak aneh dan nggak jelas gini yah ? Kenapa sampai ada dua kebudayaan di Pasuruan ? Apa Pasuruan nggak punya budaya sendiri ? Jawa apa Madura nih…??

Untuk mencari jawaban dari rasa penasaran dan keingintahuan ini aku mulai bertanya ke beberapa orang, mencari wangsit ke Gunung Arjuno (nggak segitunya juga sih) dan Tanya ke Mbah Google. Dari hasil riset kecil-kecilan itu akhirnya aku mendapatkan jawaban dan gambaran kenapa di Pasuruan ada dua kebudayaan yang berkembang (Jawa dan Madura), ternyata Pasuruan itu termasuk dalam daerah kebudayaan Pandalungan.

Lantas, apa itu Pandalungan ? kalo menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pandalungan berasal dari kata dalung yang berarti “dulang besar terbuat dari logam”. Maksudnya Pandalungan merupakan deskripsi wilayah yang menampung beragam kelompok etnik dengan latar belakang budaya berbeda ( Mayoritas etnis Jawa daan Madura), yang kemudian melahirkan proses asimilasi (perpaduan) budaya. Secara administratif, kawasan kebudayaan Pandalungan hidup dan berkembang di kawasan pantai utara bagian timur dari Provinsi Jawa Timur yang membentuk lekukan mirip ladam meliputi Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Kawasan ini dikenal juga dengan daerah Tapal Kuda.
Kesenian Hadrah

Berawal dari pada  zaman penjajahan Belanda dulu, etnis Jawa Matraman (masyarakat Jawa dari kerajaan Mataram) hijrah ke daerah timur karena daerah ini bisa menjadi tempat mencari rezeki alternatif yang tidak kalah suburnya dengan tempat asal mereka di wilayah dataran rendah. Kemudian etnis Madura melakukan transmigrasi meninggalkan pulau asalnya yang pada saat itu sangat gersang menuju ke daerah tapal kuda. Mereka datang dengan kemauan sendiri atau direkrut oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan. K`rakteristik kedua etnis ini sangatlah berbeda. Etnis Jawa tipologinya bersifat lebih penyabar, hemat, cermat, komunal dan bersahabat dengan alam. Sedangkan Etnis Madura tipologinya cenderung mempunyai watak yang keras (temperamen tinggi), terbuka, memiliki  hubungan kekerabatannya sangat kuat. Namun kesamaan diantara kedua etnis ini ialah, mereka mempunyai semangat kerja keras yang cukup tinggi.

Kedua etnis ini menyadari kenyataan bahwa mereka harus menghadapi situasi tekanan struktural dan kondisi alam yang sama, sehingga terjalinlah hubungan harmonis antara keduanya sampai saat ini. Mereka menyadari bahwa tidak ada yang mendominasi atau didominasi, sehingga lahirlah rasa toleransi, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Meskipun setiap kultur membawa dan berusaha mempertahankan tradisinya masing-masing, untuk melestarikan kultur yang mereka miliki, biasanya masing-masing komunitas berusaha mensosialisasikan kultur tersebut kepada komunitasnya. Melalui proses sosialisasi akan terjadi proses internalisasi nilai-nilai kehidupan sosial budaya masing-masing masyarakat, baik komunitas Jawa maupun komunitas Madura.  Akhirnya masyarakat wilayah Timur Jawa Timur pesisir Utara ini pada umumnya dapat saling memahami kedua budaya yang berbeda, bahkan sebagian besar masyarakat daerah ini mampu “berkomunikasi” dengan “dua bahasa etnis” ini dengan baik. Latar belakang kesamaan nasib sebagai perantau dan pendatang baru, tampaknya menghasilkan suatu bentuk “kompromi budaya” yang harmonis sehingga lahirlah istilah budaya Pandalungan.

Masyarakat Pandalungan merupakan masyarakat yang berada dalam posisi transisi dalam pola sosial budayanya. Masyarakat yang memiliki kultur campuran antara dua budaya mayoritas yang ada (Jawa dan Madura). Etika sosial, seperti tata krama, sopan-santun, atau budi pekerti orang pandalungan berakar pada nilai-nilai yang diusung dari dua kebudayaan yang mewarnainya, yakni kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Madura. Dalam perilaku sehari-hari, masyarakat pandalungan sangat akomodatif, toleran dan menghargai perbedaan. Jika merasa tidak senang, mereka akan segera mengungkapkannya. Sebaliknya, jika merasa senang, mereka pun akan segera mengatakannya. Di kawasan ini hampir tidak pernah terjadi konflik antar kelompok etnik. Konflik yang pernah dan mungkin terjadi, lebih disebabkan akar konflik berupa kecemburuan sosial yang bernuansa ekonomi, politik, pribumi dan nonpribumi, atau bernuansa keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya, budaya orang pandalungan sangat sarat dengan nuansa Islam. Hal itu terjadi karena di wilayah ini ulama dan kiai bukan hanya menjadi tokoh panutan, melainkan juga tokoh yang memiliki akar kuat pada beberapa kekuatan politik.

Secara umum, karakteristik masyarakat pandalungan ialah :
    
  1. Masyarakatnya cenderung bersifat terbuka dan mudah beradaptasi.
  2. Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakatnya adalah bahasa yang cenderung kasar (ngoko).
  3. Mayoritas masyarakatnya menguasai atau menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Jawa dan Madura.
  4. Sebagian besar lebih bersifat ekspresif, cenderung keras, temperamental, transparan, dan tidak suka berbasa basi.
  5. Cenderung bersifat Paternalistik: keputusan bertindaknya mengikuti keputusan yang diambil oleh para tokoh yang dijadikan panutan.
  6. Memiliki ikatan kekerabatan yang relatif kuat, sehingga penyelesaian persoalan seringkali dilakukan dengan bersama-sama (kelompokan).
  7. Kebiasaan masyarakatnya masih suka mengobrol, ngrasani (membicarakan aib orang lain), takut menyimpang dari pikiran dan pendapat yang berlaku umum.
  8. Tradisi klenik dan mitos masih sangat dominan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Jaran Kencak
Perkembangan kesenian di wilayah pandalungan tidak terlepas dari bentuk-bentuk akulturasi dan akomodasi produk kesenian etnis dominan. Percampuran budaya tampaknya sangat mempengaruhi ekspresi masyarakatnya dalam berkesenian. Berikut ini beberapa produk kesenian pernah berkembang dan relatif masih memiliki pendukung di wilayah kebudayaan pandalungan.
  1. Musik Patrol: Kesenian ini dilhami oleh tradisi ronda malam di jaman dahulu. Alatnya terdiri dari seruling, beberapa ketongan besar dan kecil dari kayu dan bambu. Musik patrol ini dalam perkembangannya terus mengalami modifikasi, serta variasi meskipun tetap memiliki keterbatasan.
  2. Jaran Kencak: Jaran kencak adalah kesenian rakyat dalam bentuk kuda yang dilatih menari. Agar menarik perhatian maka kuda ini diberikan aksesoris warna-warni. Biasanya diiringi musik kendang, kenong, teropet tradisional (sronen). Kesenian ini perkembangannya agak terhambat oleh semakin berkurangnya perternak kuda di wilayah pedesaan.
  3.  Hadrah: Suatu bentuk kesenian yang bernafaskan Islam yang terdiri dari beberapa rebana kecil, untuk mengiringi sholawat nabi.
  4. Terbangan: Kesenian bernafaskan Islam yang terdiri dari beberapa alat musik rebana besar yang memiliki nada suara yang berbeda satu sama lain.
  5. Kentrung: Seni kentrung adalah pelantunan pantun Madura yang diiringi bunyi rebana atau terbang. Seni ini masih banyak dijumpai di kantong-kantong kebudayaan Madura di wilayah tapal kuda
  6. Singo Ulung : Singo ulung adalah tarian rakyat dari Kabupaten Bondowoso, yang menggambarkan legenda peperangan dua tokoh sakti.
  7. Can-macanan Kadduk: Can macanan kadduk adalah tarian rakyat Jember yang merupakan produk masyarakat agraris pandalungan. Tarian ini melambangkan keperkasaan harimau atau macan yang diposisikan sebagai hewan yang sangat ditakuti
  8. Lengger: Lengger adalah tarian rakyat yang mirip dengan tandhak atau tledhek yang dikenal dalam wilayah kebudayaan Jawa.
  9. Topeng : Sebuah kesenian panggung mirip dengan ludruk (sandiwara), tetapi dialog menggunakan bahasa Madura dan kidungannya menggunakan bahasa Madura dan Jawa. Ceriteranya sangat beragam, mulai ceritera klasik berlatar belakang sejarah sampai ceritera modern tentang kehidupan sehari-hari.
  10. Janger: Janger adalah sandiwara rakyat yang pementasannya mirip dengan ketoprak yang terdapat dalam wilayah kebudayaan Jawa. Iringan Musik (gamel`n) menggunakan gamelan Bali atau Banyuwangi, tetapi gending dan syair yang dinyanyikan menggunakan bahasa Jawa. Kostum pemain ketika di atas pentas hamper seluruhnya menirukan kustum janger Bali atau Banyuwangi. Ceritera yang dimainkan biasanya sekitar sejarah Majapahit, Blambangan, Jenggala dan Daha. Janger berpentas hingga pagi hari, tembangannya menggunakan bahasa Jawa, dengan dialog menggunakan bahasa Madura.
  11. Mamacah (Macapat: Bhs.Jawa) : Seni membaca cerita dengan cara dilagukan (macapatan) yang biasanya diiringi dengan seruling. Kitab yang dibaca biasanya mengisahkan ceritera Menak (Ceritera 1001 malam). Tembangan biasanya dengan nada tinggi, bahasa yang dilagukan biasanya bahasa Jawa, tetapi kemudian ditafsirkan dalam bahasa Madura. Kesenian ini sudah hampir punah, karena tidak ada regenerasi.
  12. Pencak Silat : Permainan pencak silat yang diiringi dengan kendang, kecrek, rebana dan bedug besar (Jidur: Bhs. Madura).
  13. Karapan Sapi : Berasal dan sangat identik dengan Madura. Kerapan sap ini,  terdapat seorang joki dan 2 ekor sapi yang di paksa untuk berlari sekencang mungkin sampai garis finis. Joki tersebut berdiri menarik semacam kereta kayu dan mengendalikan gerak lari sapi. Panjang lintasan pacu kurang lebih 100 meter dan berlangsung dalam kurun waktu 10 detik sampai 1 menit. Selain di perlombakan, karapan sapi juga merupakan ajang pesta rakyat dan tradisi yang prestis dan bisa mengangkat status sosial seseorang. Bagi mereka yang ingin mengikuti perlombaan karapan sapi, harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk melatih dan merawat sapi-sapi yang akan bertanding sebelumnya. Prosesi awal dari karapan sapi ini adalah dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura, yaitu Saronen. Babak pertama adalah penentuan kelompok menang dan kelompok kalah. Babak kedua adalah penentuan juara kelompok kalah, sedang babak ketiga adalah penentuan juara kelompok menang.
  14. Legenda Sakerah : Sakerah merupakan salah satu  cerita rakyat yang sangat terkenal seantero Nusantara. Sakerah sangat identik dengan suku Madura, yang berkarakter tegas, seram, pembela kaum pribumi dalam melawan Belanda. Namun tak banyak yang tahu kalau sebenarnya Legan Sakerah ini berasal dari Kabupaten Pasuruan, tepatnya di daerah kecamatan Bangil.
Tak dapat dipungkiri bahwa keterbukaan wilayah dan kesuburan daerah pertanian Jawa Timur bagian Timur pada masa lalu (penjajahan Belanda) itu mengundang banyaknya pendatang ke wilayah ini. Perpindahan penduduk dari berbagai etnik ke daerah Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang dan Jember ini membuat penduduknya menjadi sangat heterogen. Dengan cepat daerah ini dipenuhi oleh bermacam-macam etnik seperti Madura, Jawa, Orang Osing, Sunda, Cina, Orang Mandar, dan beberapa suku lainnya.

Nah, itulah sekilas tentang kebudayaan Pandalungan. Aku sekarang lebih mengerti dan memahami kenapa sampai ada dua unsur budaya di Pasuruan (Jawa dan Madura) ternyata semua ini lahir dari sebuah proses yang sangat panjang. Dibalik sterotype masyarakat Pasuruan (dan daerah tapal kuda lainnya) yang cenderung dipandang kasar, urakan, kampungan dan ndeso ternyata mereka memiliki rasa saling menghormati dan menghargai yang cukup tinggi antara dua etnis yang ada. Sebuah warisan yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi sehingga sampai saat ini aku merasa nyaman dan aman hidup di daerah ini. Sebuah rasa yang tak ternilai harganya, rasa toleransi saling menghormati dan menghargai. So, Proud of Pandalungan Culture…
Kerapan Sapi dari etnis Madura

Komentar

  1. Saya sudah puluhan tahun meninggalkan pasuruan dan merantau di jakarta, suatu ketika saya mendengar percakapan seseorang memakai bahasa madura, lalu saya tanya madura mana? dia jawab masih dengan bahasa madura kalau dia bukan orang madura tapi ORANG PASURUAN.....lalu saya tanyain pasuruan mana? kali ini saya pakai bahasa jawa dialek pasuruan tentunya...dia jawab : aku asli ngemplak cak....langsung saya jawab ; lor-loran yo cak..hehehhehe.begitula obrolan saya dengan orang pasuruan di Jakarta....dan semakin membuat saya bangga sebagai orang Pasuruan.Salam Sakeramania Pulogadung-Jakarta

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIZKY MAHODENK, FROM ZERO TO HERO

Rizky Aditya Putra, pemuda 21 tahun asal Kalimantan Tengah sukses berwirausaha di bidang indie clothing dengan brand Mahodenk Hero. Berawal dari keprihatinannya karena generasi muda saat ini banyak mengidolakan super hero asing. Mahodenk Hero beraksi dengan design-design super hero asli Indonesia, agar para jagoan lokal bisa dikenal dan eksis lagi. Dari modal awal yang berasal dari tabungannya sendiri, kini ia bisa meraih omzet sekitar 20 – 50 juta rupiah perbulan. Dialah Rizky Aditya Putra atau biasa di panggil dengan Rizky Mahodenk ini mengawali bisnisnya saat ia baru masuk kuliah di Jurusan menejemen Fakultas ekonomi, Universitas Brawijaya Malang. Sebelumnya ia mencoba bisnis berjualan bunga. Ia membeli bunga di Malang kemudian menjualnya ke kampung halamannya di Kalimantan Tengah. Tapi bisnis ini tidak begitu sukses. Kemudian ia terpilih sebagai Ketua pelaksana inaugurasi FE UNIBRAW 2008, “Di acara itu saya ingat sekali acaranya minus belasan juta, dikarenakan banyaknya pengeluara...

Sekilas Profil Finalis Cak & Yuk Kab.Pasuruan 2012

Setelah melalui proses seleksi yang panjang, akhirnya terpilihlah 10 Pasang Finalis Cak dan Yuk Kabupaten Pasuruan 2012. Untuk mengenal lebih jauh tentang ke sepuluh pasang tersebut, berikut adalah sekilas tentang profil mereka. (versi Faris Diggory) 1. Cak Sony Nama lengkapnya adalah Sony Manggala Putra. Merupakan satu-satunya Cak wakil dari Kecamatan Prigen. Cak yang memiliki tinggi badan 179 cm ini, kuliah di Universitas Brawijaya Malang jurusan Ilmu Administrasi Negara. Cak kelahiran 17 September 1990 ini, mengidolakan sosok Ir.Soekarno dengan kutipan favoritnya ‘Kita adalah Bangsa yang besar. Jangan Jiplak budaya lain’. Sifatnya yang ramah, smart dan dewasa (salah satu angkatan tua, khe..he..he..) membuat finalis yang lain menjulukinya sebagai ‘Oom’. Kini hari-hari Cak yang suka dengan warna hitam dan hobby berolahraga ini disibukan dengan urusan Skripsi. Semangat Cak Sony... !!! Buntuti Cak Sony di @ Sony_By 2. Yuk Hanum Altina Hanum Primadhani, merupakan...

JURNALISTIK JALANAN, Tugas Besar Para Jurnalis

Ketika mayoritas orang bergembira menyambut libur lebaran, ketika mayoritas orang mulai pulang ke kampung halaman, ketika mayoritas orang bersenda gurau dengan sanak kelurga. Mereka, 'Jurnalis Jalanan' memulai tugas besarnya. Halooo…. Wah ternyata udah lama ya aku nggak nulis di blog ini. Kesibukan, adalah alasan aku jarang update nulis di blog. Sebenarnya banyak banget yang pengen aku tulis sekarang, mulai dari keseruan jalan-jalan ke MTD bersama Andrey dan Reiza, Suka duka ngerjain Program berita ‘The Expose News (TEN)’ Tugas Dasar-dasar Jurnalistik, Pengalaman menjadi kontributor majalah Hai, ketemu dengan sahabat-sahabat baru di ‘Sahabat 5cm’, tentang novel ‘2’ yang banyak quote-quote keren,  sampai tentang program ‘Metamorphoself’ku yang berisi planning dan mimpi-mimpi baruku. Tak ketinggalan tentang Hari raya idul fitri 1432 H, yang terasa banget bedanya dibanding saat aku kecil dulu. Karena terlalu banyak yang ingin ku tulis, jadinya binggung sendiri mau nulis yang man...